United Nation Declaration

14,000,000 Leading Edge Experts on the ideXlab platform

Scan Science and Technology

Contact Leading Edge Experts & Companies

Scan Science and Technology

Contact Leading Edge Experts & Companies

The Experts below are selected from a list of 1683 Experts worldwide ranked by ideXlab platform

Mohamed Duryana - One of the best experts on this subject based on the ideXlab platform.

  • The privacy right and right to be forgotten: the Malaysian perspectives
    'Indian Society for Education and Environment', 2016
    Co-Authors: Mohamed Duryana
    Abstract:

    Privacy right is a fundamental right recognised by the 1948 United Nation Declaration of Human Rights (UNDHR), the InterNational Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and in many other interNational and regional treaties. While right to be forgotten (RTBF) was recognised in 2014 when the European Court of Justice (EUCJ) made a decision in the case of Google Spain SL, Google Inc. v Agencia Española de Protección de Datos, Mario Costeja González. The RTBF allows the Internet users to erase any information about themselves such as their personal information by making request to the Internet Service Provider or data processor to remove the information from the websites. Following the above court decision, many have argued that it shall not be implemented while some others have agreed to this new concept of right under the privacy law. The issue arises when certain countries such as Malaysia does not have a specific privacy law to adopt and implement such right. Hence, this paper examines the right to privacy and its position in Malaysia, its relevancy to right to be forgotten and whether RTBF shall be adopted in Malaysia. For background information reference is made to the privacy laws and the position of RTBF in few other countries

  • The privacy right and right to be forgotten: the Malaysian perspectives
    World Academy of Research in Science and Engineering (WARSE), 2016
    Co-Authors: Mohamed Duryana
    Abstract:

    Privacy right is a fundamental right recognised by the 1948 United Nation Declaration of Human Rights (UNDHR), the InterNational Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and in many other interNational and regional treaties. While right to be forgotten (RTBF) was recognised in 2014 when the European Court of Justice (EUCJ) made a decision in the case of Google Spain SL, Google Inc. v Agencia Española de Protección de Datos, Mario Costeja González. The RTBF allows the Internet users to erase any information about themselves such as their personal information by making request to the Internet Service Provider or data processor to remove the information from the websites. Following the above court decision, many have argued that it shall not be implemented while some others have agreed to this new concept of right under the privacy law. The issue arises when certain countries such as Malaysia do not have a specific privacy law to adopt and implement such right. Hence, this paper examines the right to privacy and its position in Malaysia, its relevancy to right to be forgotten and whether RTBF shall be adopted in Malaysia. For background information reference is made to the privacy laws and the position of RTBF in few other countries. Keywords- Privacy, data protection, right to be forgotten, personal informatio

Masengi Clinton - One of the best experts on this subject based on the ideXlab platform.

  • PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME SEBAGAI TINDAK PIDANA WHITE COLLAR CRIME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003
    LEX CRIMEN, 2017
    Co-Authors: Masengi Clinton
    Abstract:

    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana white collar crime menurut UU No. 15 tahun 2003 dan bagaimana pengaturan terhadap korban tindak pidana terorisme.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai tindak tindak white collar crime, pengaturannya jelas terlihat dalam rumusan Pasal 11, Pasal 12, Paal 13, Pasal 16, Pasal 17 dimana disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan terorisme tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari golongan sosial ekonomi yang tinggi kepada golongan sosial yang lebih rendah dan suatu kejahatan profesional dalam suatu bisnis yang pada umumnya selalu melibatkan unsur finansial atau keuangan dan kepada mereka-mereka ini di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) thun dan pidana denda Rp. 1.000.000.000,00 (satu triliun). Pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana denda yang tinggi merupakan upaya untuk pencegahan dan pemberantasan dilakukannya tindak pidana terorisme. 2. Pengaturan terhadap perlindungan korban tindak pidana terorisme sudah diatur dengan sangat jelas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi pengaturan terhadap hak setiap warga negara Indonesia. Di dunia internasional pengaturan perlindungan terhadap korban kejahatan mendapat perhatian yang sangat besar dan diatur dalam Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights; Pasal 6 huruf (d) Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekerasan (United Nation Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power); Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of InterNational Criminal Court (InterNational Crime Court)); Sedangkan di Indonesia kemudian pengaturan terhadap korban diatur dengan sangat jelas dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Terhadap saksi dan Korban sedangkan khusus untuk korban tindak pidana terorisme diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 42.Kata kunci: Pencegahan dan pemberantasan, tindak pidana, terorism

Tris Maitanto - One of the best experts on this subject based on the ideXlab platform.

  • PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ARTEFAK TAMBO ADAT MINANGKABAU BERDASARKAN DEKLARASI PBB TENTANG HAK MASYARAKAT ADAT (United NationS Declaration ON THE RIGHT OF INDIGENOUS PEOPLES) DAN KENDALA PENERAPANNYA DI INDONESIA
    2021
    Co-Authors: Tris Maitanto
    Abstract:

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ARTEFAK TAMBO ADAT MINANGKABAU BERDASARKAN DEKLARASI PBB TENTANG HAK MASYARAKAT ADAT (United NationS Declaration ON THE RIGHT OF INDIGENOUS PEOPLES) DAN KENDALA PENERAPANNYA DI INDONESIA (Tris maitanto, 1510112066, Fakultas Hukum Universitas Andalas, PK VI (Hukum Internasional) 44 Halaman,Tahun 2021) ABSTRAK Tahun 1596 pertama kalinya masuk Belanda ke Nusantara. Lamanya penjajahan belanda adalah 350 tahun. Penjajahan ke Indonesia menyebabkan banyaknya dampak yang tertinggal hingga saat sekarang terutama pada benda-benda peninggalan sejarah (artefak kuno), dan dampak tersebut masih dirasakan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai saat ini. Karna tambo adat Minangkabau dibawa oleh penjajah saat mereka pergi dari Indonesia. Tambo adat Minangkabau dijadikan sebagai pedoman kehidupan bagi masyarakat adat Minangkabau hingga saat ini. Hal tersebut bertentangan dengan deklarasi PBB yang ke- 61 yaitu tentang perlindungan hak masyarakat adat dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 pasal 13 ayat (2) tentang hak cipta. Permasalahan yang akan diteliti mengenai perlindungan artefak Tambo adat Minangkabau berdasarkan United Nation Declaration on the right of indigenous peoples dan kendala penerepannya di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dikethaui bahwa pengaturan artefak Tambo adat miangkabau berdasarkan United Nations on the right of indigenous peoples, Pemerintah dunia melindungi dan menjamin masyarakat hukum adat termasuk sejarah, Bahasa, tradisilisan, system tulisan, filsafat, dan literature yasng dimilki olehh masyarakat hukum adat. Kendala penerapan aturan ini di Indonesia yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat adat Minangkabau akan perlindungan tambo adat Minangkabau, serta tidak adanya edukasi dan perhatian dari pemerintah akan perlindungan tambo adat Mianagkabau. Kata kunci : Hak Masyarakat Adat, United Nations Declaration On The Right Of Indigenous People

Oentoeng Wahjoe - One of the best experts on this subject based on the ideXlab platform.

  • peranan masyarakat adat dalam program reducing of emission from deforestation and forest degradation plus redd sebagai implementasi United Nation framework convention on climate change unfccc 1992 di indonesia
    Prosiding Ilmu Hukum, 2015
    Co-Authors: Andry Zulman Syofiar, Oentoeng Wahjoe
    Abstract:

    Pemanasan Global sebagai salah satu permasalahan lingkungan mendorong negara-nagar di dunia untuk mencari solusi terbaik yang dapat memberikan jaminan atas lingkungan yang baik melalui berbagai program penanggulangan perubahan iklim melalui United Nation Framework Climate Change Convention 1992 , salah satu program tersebut adalah Reduccion Emission Deforestation And Forest Degradation Plus (+) sebagai program yang menganut prinsip Suistainable Development dalam penanggulangan masalah tersebut. Aspek sosial budaya merupakan salah satu indikator yang harus dipenuhi dalam penggunaan prinsip tersebut yang akan diimplementasikan dalam program REDD+. Conference of Parties (COP) ke 16 di Cancun telah mengamanatkan kepada negara pelaksana REDD+ untuk menghormati keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya yang didopsi oleh PBB berdasarkan United Nation Declaration on Rights Indegenious People 2007 . Permasalahan yang diangkat skripsi ini yaitu peranan masyarakat adat melalui hak-hak masyarakat adat dalam program REDD+ sebagai implementasi UNFCCC serta pengaturan secara nasional peranan masyarakat dalam program REDD+ di Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yaitu pendekatan yuridis normatif, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu berdasarkan pertemuan Conference of Parties UNFCCC ke 16 di Cancun Meksiko dalam  lampiran paragraf 2 huruf c bahwa dalam memberikan peranan bagi masyarakat adat dalam program REDD+ haruslah terlabih dahulu memberikan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat yang merujuk kepada UNDRIP sebagai indikator yang relevan dalam program tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa Hak seperti Hak Atas Penentuan Nasib Sendiri ( Self DetermiNation ), Hak Atas Tanah dan Sumber Daya, Hak Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan, Hak Atas Bebas, Didahulukan, Diinformasikan, Dan Persetujuan ( Free, Prior and Informed Consent ), Hak Atas Nilai Adat dalam Pengelolaan Hutan, Hak Pembagian Manfaat ( Benefit Sharing ) sedangkan pengaturan secara nasional berkaitan dengan peranan masyarakat adat dalam pelaksanaan program REDD+ di Indonesia  mengacu pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, pada awal pelaksaan REDD+ Indonesia  di laksanakan melalui beberapa Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur secara teknis REDD+ Indonesia didalam peraturan tersebut tidak mengatur perihal peranan masyarakat adat. Peranan Masyarakat Adat dalam program REDD+ mengalami perkembangan yang dinamis dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ Indonesia yang dijadikan acuan dalam implementasi REDD+ di Indonesia.

Tumbel Zidane - One of the best experts on this subject based on the ideXlab platform.

  • PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK BUDAYA MASYARAKAT ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA
    Sam Ratulangi University, 2020
    Co-Authors: Tumbel Zidane
    Abstract:

    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Hukum Hak Budaya Masyarakat Adat Menurut Konvensi  Internasional Dibidang Hak Asasi Manusia dan bagaimana Implementasi Jaminan Hukum Perlindungan  Hak Budaya Masyarakat Adat Dalam Hukum Nasional. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hak masyarakat adat telah diatur dalam beberapa Konvensi  Internasional dibidang Hak Asasi Manusia, yakni, Deklarasi Universal Hak Asasi Mnusia) 1948 (DUHAM), ICESCR (Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) diakui dan dilindungi oleh instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional dan regional, yakni; Convention of InterNational Labor Organization Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari- Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007 yang disingkat dengan UNDRIP. 2. Sebagai negara pihak dalam konvensi-konvensi HAM internasional yang berkaitan dengan hak masyarakat adat, Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi HAM sebagaimana diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara dalam UUD 1945  Indonesia telah melakukan tindakan implementasi dalam hukum nasional dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM dan peraturan perundang-undangan lainnya, sebagaimana yang  terdapat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Kata kunci: Perlindungan Hukum, Hak-Hak Budaya Masyarakat Adat, Perspektif Hukum Hak Asasi Manusi